SEGERA BERGABUNG DI POKER757 SITUS JUDI ONLINE TERPERCAYA YANG AMAN DENGAN MINIMAL DEPOSIT Rp25.000 DAN MINIMAL WITHDRAW Rp50.000, MENYEDIAKAN 8 GAME DALAM 1 AKUN : BANDAR66(BARU) , BANDARQ , POKER , BANDAR POKER , DOMINOQQ , CAPSASUSUN , ADUQ , SAKONG^^ , YANG PASTI FAIR PLAY TANPA BOT !!.

Adik Polos KU yang menikmati tubuh ku yang SEMOK

No Comments

Namaku Vania. Di situs ini akan kuceritakan kenapa akhirnya aku pindah hidup di Timika. Ini adalah kisah nyata yg kualami sendiri. Aku anak sulung, punya 2 adik laki2. Ini terjadi 5 tahun yg lalu. Saat itu adikku yang ke-2, sebut saja namanya Vano, baru berusia 14 tahun.

Kami tinggal di Manado. Rumah kami tidak besar. Hanya ada 3 kamar tidur: kamar ortu, kamarku, & 2 adik lakiku di kamar satunya.


Saat itu hari Rabu jam 2 siang, ortuku sedang bekerja. Aku tidak ada kuliah hari itu jadi seharian kuhabiskan di depan tv sambil makan cemilan kacang atom yg kubeli dari warung dekat rumah.

Tak lama kemudian Vano pulang sekolah. Sementara adikku yg bungsu masih ada ekstra kurikuler hingga jam 5 sore. Vano pun langsung ganti baju lalu mengambil makan siang dan duduk menonton tv bersamaku. Kami terlibat perbincangan kecil tentang keadaan sekolah sekarang.

Maklum, aku dulu juga bersekolah di sekolah yang sama dengan Vano jadi aku masih tahu dan kenal betul guru2 yang mengajar Vano saat ini. Sesekali aku menyimak berita yang ada di tv, lalu aku kembali menanyakan tentang guru2 di sekolahku dulu.

Aku melihat Vano tidak seperti biasanya. Aku merasa seperti Vano selalu mencuri2 lihat ke arah tubuhku. Namun aku tak menghiraukannya. Ah paling hanya perasaanku saja, pikirku. Lalu tak berselang lama aku pun memutuskan untuk mandi siang itu karena tak tahan dengan panasnya. Aku mengambil handuk lalu segera masuk ke kamar mandi. Aku mandi cukup lama, sekitar 20 menit karena sekalian keramas.

Selesai mandi aku pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhku dari dada hingga bagian atas paha.

Dibalik handuk, aku tidak mengenakan apapun. Kebiasaanku setelah mandi adalah pakai pakaian di kamar. Jadi dari pintu kamar mandi, aku berjalan melewati ruang tv menuju ke kamar. Ternyata di ruang tv tidak ada Vano. Pasti dia sudah masuk kamarnya dan tidur. Dasar Vano, tidak menonton tv tapi tidak dimatikannya itu tv.


Jadi aku berjalan ke kamar sambil mematikan tv. Sampai di kamar aku nyalakan AC lalu aku kunci pintu kamarku.

Aku duduk di atas kasurku lalu aku mengambil pengering rambut untuk mengeringkan rambutku. Kasurku bukanlah kasur springbed. Kasurku hanyalah kasur busa biasa, dengan dipan setinggi separuh pahaku, cukup lebar untuk 2 orang. Bagian kolongnya kosong dan aku gunakan untuk meletakkan sebuah kardus yang berisi buku2 yang tak terpakai lagi.

Setelah selesai mengeringkan rambut, aku pun berdiri dan menanggalkan handuk yang menempel di tubuhku lalu berjalan ke arah cermin yang terletak di tembok seberang kasurku.

Kuambil sebuah pisau cukur untuk mencukur bulu ketiakku yang mulai tumbuh kecil2 setelah 1 minggu tidak aku cukur. Saat aku sedang mencukur bulu ketiakku, tak kusangka dari belakang ada yang menyergapku.

Tangan kanannya memegang tangan kananku sambil tangan kirinya memegang sebuah sapu tangan yang dibungkamkan ke mulutku.

Aku berteriak sekencangnya untuk meminta tolong. Namun apa daya, ternyata dia membungkamku dengan obat bius. Aku pun lemas, tidak pingsan total, hanya setengah sadar, mataku masih terbuka walaupun agak berat. Sepertinya obat bius itu tidak cukup kuat untuk membiusku.

Yang aku tahu setelah itu, ternyata orang yang menyergapku, tak lain dan tak bukan, adalah Vano sendiri.

Entah dari mana dia mendapatkan obat bius itu. Lalu Vano pun menidurkanku di kasur dalam keadaan telentang dan telanjang, tanpa sehelai benang pun. Sekarang Vano berada di atasku dalam posisi berlutut mengangkangi tubuhku.

Diangkatnya kedua tanganku lalu diikatkannya ke dipan kasurku. Aku ingin melawannya tapi aku tak cukup kuat. Dengan suara berat & terbata2 dalam pengaruh obat bius,

aku bilang ke Vano.

"Vano, apa-apaan kau ini. Lepasin kakak, dingin..."

Vano pun menjawab " Tenang aja kak, Vano angetin kakak."

Vano menanggalkan seluruh pakaiannya. Jadi kami dalam keadaan telanjang bulat sekarang. Badannya kurus kecil, tidak lebih besar dari tubuhku. Jika aku tidak dibiusnya, aku pasti sanggup melawannya. Aku lihat penisnya sudah tegak berdiri, bulu kemaluannya tidak lebat tidak tipis.

Vano belum disunat, jadi kulupnya masih menutupi bagian kepala penisnya. Lalu dimulainyalah semua apa yang dia imajinasikan selama ini. Pertama dia menciumi ketiakku dengan penuh nafsu. Lalu tangannya meremas2 payudaraku dengan keras sambil sesekali dia memindahkan bibirnya ke payudaraku untuk mengisap2 puting susuku. Digesek2kannya penisnya ke pahaku.

Aku yang tak berdaya hanya dapat menyaksikan ekspresi wajahnya yang bagaikan seorang anak kecil sedang menyusu pada puting payudara ibunya dengan nikmatnya.

Vano terus memainkan tangan & mulutnya di kedua payudaraku selama kurang lebih 10 menit. Hingga akhirnya dia merenggangkan kedua pahaku.

Aku masih dalam keadaan setengah sadar dan sangat lemas hingga aku tak dapat melawannya saat membuka pahaku dan mengendus2 vaginaku. Vano menjilatinya dan melumuri penisnya dengan air ludahnya. Lalu diletakkannya penisnya tepat di luar vaginaku. Dia sama sekali tidak memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Ya, dia hanya meletakkan penisnya di luar vaginaku, lalu dengan menggunakan kedua kakinya, Vano berusaha untuk merapatkan kedua pahaku.

Jadi posisi Vano sekarang telungkup di atas tubuhku berhadapan denganku dan penisnya berada di luar vaginaku tepatnya di antara kedua pahaku. Lalu Vano memeluk & mendekap tubuhku dengan erat.

Payudaraku sekarang berada tepat di depan wajah Vano. Aku sungguh malu luar biasa. Aku benar2 merasa dilecehkan olehnya.

Bagaimana bisa adik kandungku sendiri yang amat kusayangi tega memperlakukanku seperti ini. Jujur hingga saat ini aku masih menangis sedih bila mengingat ekspresi wajahnya saat melecehkan tubuhku. Namun, sekali lagi, aku tak cukup kuat untuk melawannya karena pengaruh obat bius itu.

Vano pun mulai menggesek2kan penisnya di antara kedua pahaku sambil mulutnya mengisap2 puting susuku.




Sesekali dia juga menciumi ketiakku. Vano terus menggesek2kan penisnya dengan irama yang tak beraturan. Pahanya gemetaran, nampak seperti hampir orgasme.

Hisapannya pada puting payudaraku pun semakin kuat. Benar saja, tak berselang lama akhirnya dia pun terburu2 mencabut penisnya, mengocoknya dengan cepat, dan menumpahkan seluruh spermanya di atas perutku.

Hatiku benar2 hancur saat itu. Ingin rasanya kutampar wajahnya yang kurang ajar itu.

Vano puas melampiaskan nafsu bejatnya padaku. Ya, Vano memperkosaku di kamarku sendiri saat kami sedang di rumah berdua.

Setelah selesai, ia pun membersihkan bekas2 sperma yang ada di perutku dengan menggunakan tissue. Vano pun mencium payudaraku dengan lembut, lalu mencium keningku dan berkata terima kasih padaku.

Kemudian ia memakaikanku pakaian & melepaskan ikatan di tanganku.

Aku heran, mengapa dia tidak meninggalkanku begitu saja segera setelah ia puas? Mengapa ia memakaikanku pakaian setelah semua hal tak senonoh yang ia lakukan padaku? Mengapa aku yang mendapat perlakuan tak senonoh seperti ini? Apa yang harus kulakukan kini? Haruskah aku memberitahukan kelakuan Vano kepada ortuku? Masih sanggupkah aku keluar rumah & berjumpa dengan semua orang setelah kejadian ini?

Semenjak kejadian hari Rabu itu, aku jadi lebih pemurung dan jarang keluar kamar. Aku keluar kamar hanya seperlunya saja. Aku pun tak berselera makan karena perasaan tertekan ini.

Hatiku benar2 hancur. Aku masih tak percaya, adik kandung yang kusayangi tega berbuat demikian.

Selang beberapa hari kedua orangtuaku menyadari perubahan yang ada pada sikapku.

Akhirnya ibuku bertanya kepadaku mengapa aku sekarang jadi pendiam. Ingin rasanya aku peluk ibuku & menangis di pangkuannya menceritakan apa yg telah terjadi kepadaku.

Tapi aku tak sampai hati menceritakannya, karena itu akan menjadi aib bagi keluarga kami & keluarga kami akan berantakan karena kejadian memalukan itu. Akhirnya aku pun hanya bisa menjawab tak ada apa2, ibu tidak usah khawatir.

Setelah itu, Vano mulai percakapan denganku via wh*ts*pp.

Dia terus menerus minta maaf padaku. Dia bilang bahwa hari itu dia khilaf akibat diajak temannya menonton film porno. Namun aku tidak membalasnya. Aku sudah terlanjur sakit hati padanya.

Hari demi hari berlalu, Vano terus meminta maaf padaku setiap hari. Hingga akhirnya aku capek dengan semua gangguan dari dia dan kubalas pesan wh*ts*pp nya.

Aku ( A ) : Apalagi yang Vano mau? Masih belum cukup Vano nodai kakak?

Vano ( V ) : Maafin Vano kak, waktu itu Vano khilaf karena diajak temen Vano nonton film porno...

Aku ( A ) : Tapi kenapa kakak yang jadi korban???

Vano ( V ) : Vano khilaf kak... Maaf kak... :-(

Aku pun kembali diam, tak membalas.

Aku susah melupakan kejadian itu. Aku benar2 depresi, ingin rasanya aku bunuh diri saja.

Aku merasa sangat malu untuk bertemu dengan orang lain. Sudah 3 minggu aku bolos kuliah. Ortuku bertanya kenapa kok nggak berangkat kuliah. Aku pun menjawab, diliburkan oleh dosennya. Entah sampai kapan aku harus begini terus.

Suatu hari, keadaan itu terulang kembali.

Kedua ortuku sedang bekerja. Di rumah hanya ada aku, Vano baru pulang sekolah, & adikku yg bungsu belum pulang dari sekolahnya. Saat itu aku sedang tertidur di kamar.

Tiba2 Vano ada di kasurku & dia membangunkanku dari tidurku. Jelas saja aku kaget setengah mati & mengambil selimut untuk menutupi tubuhku yang hanya mengenakan daster tipis tanpa pakaian dalam sama sekali.

Dengan nada suara agak tinggi, aku bertanya pada Vano apa yang dia lakukan di kamarku & bagaimana dia bisa masuk ke kamarku. Vano pun menjawab bahwa pintu kamarku tak dikunci, jadi dia masuk untuk sekali lagi minta maaf padaku.

Aku pun membentak Vano dengan keras sekali.

"Kenapa kau minta maaf??? Percuma!

Aku tak akan pernah memaafkan perbuatanmu! Aku tak punya adik seperti kamu! Sekarang keluar dari kamarku!"

Astaga, apa yang telah kukatakan? Kata2 itu keluar begitu saja dari mulutku. Ya Tuhan, aku tidak pernah bermaksud mengatakan itu kepada Vano. Memang Vano telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Namun, jauh di dalam hatiku, aku masih menyayanginya. Ya, aku masih sangat menyayangi Vano, adik kandungku. Aku pun melihat ke arah Vano.

Dia diam saja, kepalanya tertunduk ke bawah seolah tak berani melihat ke arahku. Ternyata Vano benar2 merasa bersalah kepadaku. Aku pun jadi tak tega padanya. Namun aku pun juga tak dapat begitu saja memaafkan perbuatannya.

Aku masih menatap Vano sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Vano masih diam & menundukkan kepalanya. Setelah kuamati lagi, ternyata ada air menetes dari matanya. Awalnya aku tak percaya, tapi memang begitulah kejadiannya.

Vano meneteskan air mata penyesalannya. Dengan suara terbata2, dia berulang kali mengucapkan kata maaf padaku. Aku pun tak sanggup berkata2, hanya ikut menangis dengan Vano. Tanpa sadar, aku pun memeluk Vano, kusandarkan kepalanya di pundak kiriku.

A : Kenapa Vano tega sama kakak?

V : Maaf kak, Vano tak ingin menyakiti kakak, Vano sayang kakak.

Kuusap rambut Vano & kucium keningnya.

A : Kakak juga sayang Vano. Vano adik kakak yang paling baik.

V : Iya kak, Vano menyesal. Vano waktu itu penasaran. Tapi malah bikin kakak sedih.

Aku pun akhirnya memaafkan Vano. Kami pun saling bertatap mata, lama sekali. Aku rindu saat2 dekat dengan Vano sebelum kejadian itu. Entah sudah berapa lama kami tidak menghabiskan waktu bersama.

Kira2 ada 2 menit kami bertatap mata. Lalu tanpa disadari, entah kenapa kami berciuman.

Awalnya kami hanya berciuman pipi saja. Namun berlanjut ke ciuman di bibir. Entah siapa yang memulainya. Aku pun menarik bibirku, namun Vano dengan lembut menahan leherku agar ciuman kami tak terlepas. Awalnya aku melawan, namun lama kelamaan akhirnya aku pun menyerah dan melanjutkan ciuman kami. Semua rasa sayangku pada Vano, kulampiaskan kepadanya dengan cara yang tak wajar, ciuman.

Lalu ciuman Vano pun perlahan pindah ke leherku. Aku pun terbawa suasana. Vano menciumi leherku dengan lembut. Aku merasakan sensasi seperti terbang saat Vano mencium leherku sambil sesekali lidahnya menjilati leherku. Lalu ditariknya selimutku dari tubuhku. Vano mencoba memegang payudaraku dengan tangan kirinya. Namun kutangkis & kusilangkan kedua tanganku di depan dadaku.

Vano kembali mencium bibirku. Kami saling bertukar lidah. Akhirnya tangan Vano memegang tanganku & dibukanya tanganku yang tersilang di depan dadaku. Aku pun hanya menurut saja pada apa yang Vano lakukan. Ciuman Vano pun pindah ke dasterku, tepatnya di bagian buah dadaku.

Ciumannya benar2 lembut & aku hanya bisa diam membiarkan apa yang ia lakukan pada tubuhku. Entah setan apa yang masuk ke tubuhku hingga aku diam saja tak melawan apa yang Vano lakukan padaku.

Akhirnya Vano membuka dasterku & kini aku pun telanjang bulat.

A : Apa yang Vano lakukan ke kakak?

V : Vano masih penasaran kak.

A : Penasaran apa Vano?

V : Vano pengen jadi adek bayi lagi.

A : Maksud Vano, Vano pengen menyusu ke kakak?

V : (Diam, mengangguk, & matanya melihat ke arah puting susuku).

A : (Aku pun menghela napas) Oke, tapi bibir Vano aja ya yang nempel, tangan Vano ga boleh ikutan.

V : (Sekali lagi Vano diam & mengangguk tanda setuju).

Aku pun merebahkan Vano ke pangkuanku, sambil kudekatkan puting susu kiriku ke bibir Vano. Vano pun segera menyusu padaku dengan lahapnya seperti seorang bayi yang sedang menyusu pada ibunya.

Sesekali kuusap rambutnya sambil mengingat2 kenangan kami sewaktu Vano masih kecil dulu. Dia sangat lucu & polos. Aku sering mengajaknya bermain, jalan2 di sekitar kampung kami, & beli jajanan di warung dekat rumah kami. Tak kusangka sekarang Vano sudah sebesar ini & ada di pangkuanku sedang menyusu padaku seperti anak kecil.

V : (Dengan wajah polos) Kok nggak ada susunya sih kak?

A : Kakak kan belum hamil, ya nggak keluar susunya lah.

V : O... Kalo gitu nanti kalo pas kakak hamil & keluar susunya, Vano nyoba ya sama kakak...

A : Enak aja, nanti anak kakak gimana?

V : Kan kakak punya dua. Satu buat Vano, satu lagi buat anak kakak...

Aku diam, hanya senyum padanya. Vano masih polos seperti Vano yang kukenal dulu sewaktu kecil.

V : Kak Vania, Vano boleh minta satu hal lagi nggak?

A : Apa?

V : Burung Vano pengen dicepit di paha kak Vania lagi nih. Boleh?

A : Nggak! Kamu ini banyak mintanya!

V : Tapi nggak nyaman nih rasanya kak...

A : Kamu kocok aja burungmu sendiri. Nih tissue biar ga belepotan kemana2. (Aku mengambil tissue yang ada di meja dekat kasurku)

Lalu Vano pun mengocok penisnya sendiri. Kulihat penisnya.

Ukurannya normal untuk anak seusia dia, mungkin sekitar 13cm. Tak terlalu besar, tak terlalu kecil. Bulu kemaluannya pun masih jarang.

Vano menutup penisnya dengan tissue & mulai mengocok dengan tangan kanannya. Naik turun perlahan. Tangan kirinya sesekali mengusap2 buah zakarnya. Kami pun berada di posisi itu cukup lama. Vano tak kunjung mencapai puncak.

A : Lama banget sih... Udah belum?

V : Susah kak, habis posisinya kurang nyaman sih...

A : Lalu posisi mana yg nyaman?

V : Kakak rebahan aja di kasur.

A : (Aku pun menurutinya) Oke.

V : Buka kaki kakak, kayak kemarin itu...

A : (Sambil membuka paha) Astaga, jangan bilang kalau Vano mau memasukkan burung Vano ke celah paha kakak lagi...

V : (Vano hanya senyum, sambil memasukkan burungnya ke pahaku)

Kami pun sekarang ada di posisi yang sama seperti kejadian hari Rabu itu saat Vano memperkosaku. Vano menggesek2kan penisnya ke vaginaku, tidak masuk ke dalam vaginaku, hanya di luar saja. Kedua tangannya memeluk tubuhku.

Bibirnya tepat di depan puting susu kiriku. Dia menyusu padaku sambil menggesekkan penisnya ke vaginaku.




Sesekali Vano menciumi leherku. Tak lama waktu berselang, akhirnya Vano pun hampir mencapai puncak. Gerakannya makin tak beraturan & iramanya meninggi.

A : Vano, jangan sampai kasur kakak belepotan spermamu.

V : Hmmmmh.... Lalu gimana kak? Vano hampir puncak nih.

A : Aduuuuh, stop stop... Cabut burungmu dulu.

V : (Mencabut burungnya dari pahaku) Iya kak...

Aku pun meraih penis Vano & mulai mengocoknya dengan tangan kananku. Tangan kiriku memainkan buah zakarnya. Kedua tangan Vano meremas2 kedua buah dadaku, sambil dia mendesah pelan.

V : Terus kak.. Hmmmmh.... Vano hampir puncak...

Remasan Vano pada kedua buah dadaku makin kencang. Aku juga mengocok makin kencang, lalu tiba2 menyemburlah sperma Vano di atas perut & dadaku, banyak sekali.

A : Astagaaaaaa Vano, banyak banget. Kapan terakhir kali kau ngocok?

V : Vano ga pernah ngocok kak, terakhir ya sama kakak itu.

A : Pantesan. Cepat ambil tissue, bersihin tubuh kakak.

Vano pun mengambil tissue & membersihkan tubuhku. Kami segera berpakaian kembali. Vano mencium bibirku dan berkata terima kasih. Aku hanya diam & merapikan diriku kembali.

Setelah kami rapi, kami pun keluar kamar untuk membuang tissue bekas sperma Vano. Alangkah kagetnya kami saat membuka pintu kamarku.

Ternyata tepat di depan pintu kamarku ada ibuku. Sepertinya dia sudah cukup lama di depan pintu kamarku & mendengarkan aktifitas kami.

Ibu ( I ) : Ngapain aja kalian berdua di kamar???

Aku ( A ) : Nggak ngapa2in ma...

Vano ( V ) : Vano cuma ngobrol sama kak Vania kok ma...

Ibuku melihat tissue yang ada di tangan Vano, mengambilnya, & mendekatkannya ke hidungnya untuk memastikan apa yg ada di tissue itu.

I : Apa ini?????

(Aku & Vano hanya terdiam)

I : Cepat jawab apa ini?????

Kami tak dapat menjawab lagi, ibuku tahu bahwa ada aroma sperma di tissue itu. Ibuku menangis & menampar kami berdua.

Hal bodoh apa yang telah kami lakukan??? Aku benar2 tak menyangka ibuku sendiri memergoki perbuatan kami berdua. Kami hanya terdiam tak bergerak sama sekali. Menyesal? Pasti, tapi itu sudah terlambat. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki ini semua? Sepertinya tak ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki situasi ini.

back to top